Jumat, 04 November 2011

Mengenal Menteri Luar Negeri Kita

Dari Dubes Menuju Puncak::::

Prof. DR. Raden Muhammad Marty Maulina Natalegawa, M.Phil, B.Sc. Dia adalah diplomat muda yang tengah menuju puncak karir. Marty Natalegawa yang sebelumnya dikenal sebagai Juru Bicara Departemen Luar Negeri, mulai pertengahan Desember 2005 dipercaya menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Inggris. Pria kelahiran Bandung 22 Maret 1963, ini merupakan duta besar termuda, apalagi untuk pos dubes penting, Inggris, AS dan Jepang. Dia tengah dipersiapkan menjadi Menteri Luar Negeri.


Dia seorang diplomat muda yang jenjang karirnya menanjak demikian cepat. Dia berhasil melintasi hambatan

enjang urut kacang dan birokrasi (kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah).


Menuju Puncak Karir

Marty yang dikenal sebagai sosok bersahaja dan rendah hati, selalu menempatkan diri menjadi seseorang yang bisa diperintahkan ke mana juga oleh siapa pun. Dia bukan tipe orang yang betah menunggu terus di belakang meja. Dalam pe

rjalanan karirnya yang tergolong cepat, dia terlihat selalu tahu persis targetnya, yang dirancang dalam program.

Dari kecil, SD hingga mencapai gelar doktor, dia sudah berada dalam pergaulan dunia. Dia pernah duduk di bangku SMP, Singapore International School, Singapura, 1974, sebelum pindah ke SMP, Ellesmere College,

Inggris, 1978. Kemudian dia masuk SMA, Concord College, Inggris, 1981.


Setelah itu meraih gelar BSc, Homour, in International Relations, London School of Economics and Political Science, University of London, 1984 dan Master of Philosophy in International Relations, Corpus Christi College, Cambridge University, 1985. Jadi sejak sekolah menengah pertama hingga menamatkan S2, Marty selalu bersekolah di Inggris. Gelar doktornya (Doctor oh Philosophy in International Relations) diraih di Australian National University, 1993.


Dari kecil, dia memang bercita-cita menggumuli dan berkarir di bidang hubungan internasional. Maka setelah menyelesaikan studi dan kembali ke Indonesia, dia pun langsung merapat ke


Departemen Luar Negeri. Dia memulai karir sebagai Staf Badan Litbang, Deplu, 1986-1990.

Kala itu, pada awal memasuki lingkungan birokrasi Deplu RI, Marty mengaku sempat mengalami cultural shock, sehingga harus banyak menyesuaikan diri, namun tedak melebur diri. Misalnya, dia melihat urusan gampang dibuat jadi susah, dilempar kiri-kanan. Karena itu, sejak hari pertama masuk Deplu, dia mengatakan tidak akan membiarkan diri terbawa arus yang tidak selalu positif ini.


Dia bertekad harus punya prinsip dasar kalau melihat satu lingkungan yang tidak benar, harus berani mengoreksi. Dia bertekad harus berani mencoba mengubah, yang dimulai dari diri sendiri. Dia memberi misal, sikap birokrat yang menutup diri, minta dilayani, yang sudah begitu mengakar dalam sistem birokrasi kita. Harus diubah, dan kalau ingin berubah, harus mulai dari diri sendiri.

Prinsip ini selalu ditularkan kepada rekan dan staf di lingkungan kerjanya. Kalau sedang sidang, kadang dia minta teman membacakan kertas posisi.


Pengalaman seperti ini, menurutnya, penting karena pengalaman tidak tergantung usia. Ada yang sudah senior, tetapi kalau tidak pernah belajar ya begitu-begitu saja.


Menurutnya, siapa pun bisa mendapat pengalaman dengan cepat, padat, dan singkat kalau mau berpihak pada tanggung jawab yang terus-menerus. Karena itu, tak heran bila di Deplu dia bisa meraih jenjang karir dengan sangat singkat. Dia melihat karena di Deplu ada faktor kevakuman pada tahap tertentu, jadi harus dipadatkan proses membangun pengalamannya. “Kalau mau terus ”urut kacang”, bagi intern tidak apa-apa. Tetapi, ketika harus berinteraksi dengan negara lain akan kelihatan,” urainya.

Walaupun pernah dikabarkan, Marty sempat menjadi korban urut kacang dalam menapaki jenjang karirnya. Namun, dia menyebut bukan korban, tetapi memang dalam birokrasi ada aturan. Justru dia merasa sebaliknya. Menteri memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siapa pun yang dianggap punya kemampuan memikul tanggung jawab lebih.
Pengalaman Marty dalam menapaki jenjang karirnya, patut mendapat catatan tersendiri. Dalam lingkungan birokrasi yang kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah dan jenjang karir urut kacang, dia berhasil melewati semua hambatan itu dengan gemilang.


Setelah beberapa tahun menjadi staf Badan Litbang, 1986-1990, dia ditugaskan menjadi staf (tanpa jabatan) di Perwakilan Tetap RI (PTRI) pada PBB, New York. Kemudian menjadi kepala seksi, lalu kasubdit, dan kepala bidang, yang tahapannya selalu menjadi acting atau pelaksana. Selalu dia terlebih dahulu menunjukkan kemampuan dalam melaksanakan berbagai tugas, baru kemudian jabatannya diformalkan.


Setelah menampakkan kemampuan sebagai Kepala Bidang Politik II, Perwakilan Tetap RI pada PBB, New York, 1997-1999, dia pun ditarik menjabat Kepala Subdirektorat Organisasi Internasional, Deplu, 2000-2001. Tidak berapa lama, dia diangkat menjabat Direktur Organisasi Internasional, Deplu, 2001-2002.


Tidak berapa lama juga dia dipercaya menjabat Kepala Biro Administrasi Menlu sekaligus merangkap Juru Bicara Deplu, 2002-2004. Dalam posisi itu, dia pun dipercaya menjabat pelaksana tugas Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN/Juru Bicara Deplu, 2003-2005.


Saat dia diberi tugas rangkap pelaksana tugas Dirjen ASEAN, Kepala Biro Administrasi Menteri, dan Juru Bicara Deplu, dia melakoninya dengan sangat baik. Dia tidak pernah melihatnya sebagai masalah. Bahkan namanya pun makin poluler di mata publik dalam dan luar negeri. Sebagai juru bicara Deplu, dia menunjukkan dirinya sebagai seorang diplomat muda yang berpotensi menduduki jabatan puncak di Deplu.


Maka tidak heran bila banyak pihak yang menaruh harapan, bahwa dalam posisinya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Inggris, dia akan berhasil membuat hubungan bilateral Indonesia-Inggris dalam posisi saling menghormati dan saling menguntungkan.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More